DILAN
Dia Adalah Dilanku Tahun 1990
Seri Pertama
1.
Namaku
Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru selesai
makan jeruk. Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku
kagumi, dan dia adalah TNI Angkatan Darat yang bertugas di Kodiklat. Dia lahir
di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Sejak kecil aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan
Slipi. Tahun 1990 ayahku dipindah tugas ke Bandung, sehingga ibuku, aku, adik
bungsuku, pembantuku, dan semua barang-barang di rumah pun jadi pada ikut
pindah.
Rumahku, yang di Buah Batu, adalah milik Kakekku, Bapak
Abidin, yaitu ayah dari ibuku. Tapi Kakek sudah meninggal pada bulan Mei tahun
1989. Di rumah itu, jadi cuma ada nenek, karena ibuku adalah anak tunggal.
Khabar bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek
sangat senang dan meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Tapi sayang, tahun
1990, kira-kira sebulan sebelum pindah, nenekku meninggal dunia.
Rumah yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku
sepenuhnya. Ada halaman di depannya, meskipun ukurannya tidak luas, tapi cukup.
Tempat tumbuh berbagai bunga dan satu pohon jambu, yaitu jambu batu, yang ibuku
suka kesel kalau sudah mulai banyak ulatnya.
2
Aku juga pindah sekolah, ke SMA Negeri yang ada di Bandung.
Bagiku, itu adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak,
minimal se-Asia lah. Bangunannya sudah tua, peninggalan Belanda, tapi masih
bagus karena keurus.
Ada tumbuh pohon besar di halaman sekolah. Cabangnya banyak
dan bagus kalau dilihat senja hari, dan juga siang, kalau mendung, dan juga
pagi, kalau mau. Sebagian orang percaya pohon itu berhantu, tapi aku gak takut,
kecuali kalau harus tidur sendirian malam hari di situ.
Dulu, jalan di depan sekolahku, cuma jalan biasa, lebarnya
kira-kira tiga meter dan belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk angkot.
Sehingga untuk bisa sampai di sekolah, aku harus mau berjalan sepanjang
kira-kira 200 meter, yaitu setelah aku turun dari angkot di daerah pertigaan
jalan itu.
Sekarang jalan itu, sudah berubah, sudah jadi jalan raya
yang dipadati oleh banyak kendaraan. Dulu, motor juga belum banyak. Hanya
beberapa orang saja yang pake. Sebagian besar bepergian dengan angkot atau
bemo.
Rasanya, waktu itu, Bandung masih sepi, belum begitu banyak
orang. Setiap pagi masih suka ada kabut dan hawanya cukup dingin, seperti
menyuruh orang untuk memakai sweater atau jaket kalau punya.
Selain romantis, sekolah itu adalah tempat yang banyak
menyimpan kenangan. Terutama menyangkut dengan seseorang yang sangat aku
cintai, yang pernah selalu mengisi hari-hariku di masa lalu, yang malam ini,
ingin kuceritakan kepadamu.
Akan aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi,
meskipun tidak begitu detail, tapi itulah intinya. Ada nama tempat dan nama orang
yang sengaja kusamarkan, untuk tidak merembet menjadi suatu persoalan dengan
pemilik tempat dan orang yang bersangkutan.
Semua, akan kutulis dengan menggunakan
cara si dia di dalam bergaya bahasa. Entah gaya apa, pokoknya, kalau dia bicara
pun, bahasa Indonesianya cenderung agak baku. Kedenger sedikit tidak lazim,
seperti bahasa melayu lama yang biasa digunakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Tapi itu bukan hal yang harus dipersoalkan, ini cuma sekedar agar bisa
sekaligus mengenang khas dari dirinya.
Sebelumnya, aku mau cerita dulu di mana
posisiku sekarang. Malam ini aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea
dan lagu-lagu Rolling Stones, di kawasan Jakarta Pusat, di rumah yang aku
tempati bersama suamiku sejak tahun 1997.
Malam ini, tanggal 11 September tahun
2010. Anakku sudah tidur. Dia lelaki dan masih berusia 10 tahun. Sedangkan
suamiku, dia belum pulang, katanya ada kerjaan kantor yang membuat dia harus
lembur.
Mari kita mulai, dan inilah ceritanya:
3
Pagi itu, di Bandung, pada bulan September,
tahun 1990, setelah turun dari angkot, aku jalan menuju sekolahku sebagaimana
yang lainnya yang juga sama begitu. Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada
yang berdua atau lebih.
Dari arah belakang, aku mendengar suara
motor. Suaranya agak berisik dan yang bisa kuingat di masa itu, belum begitu
banyak siswa yang pergi sekolah dengan memakai motor.
Ketika motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya
melambat. Seperti sengaja ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya
menggunakan seragam SMA
Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah,
aku tetap waspada, kuatir barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku. Dia
bertanya:
“Selamat pagi”
“Pagi”, kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar
“Kamu Milea, ya?”
“Eh?”, kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal
dirinya. Nyatanya tidak, lalu kujawab: “Iya”
“Boleh gak aku meramal?”
“Meramal?”, Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok
meramal? Kok bukan kenalan?
“Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin”.
Dia pasti ngajak becanda. Aku gak mau. Tapi aku tidak
tahu harus jawab apa. Hanya bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk
berbasa-basi. Jangan judes juga. Iya.
Asli, aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu.
Mungkin satu sekolah denganku, tapi aku belum mengenal semua siswa di
sekolahku, termasuk dirinya. Aku hanya murid baru. Baru dua minggu.
“Mau ikut?”,
dia nanya
“Makasih”, jawabku. Enak aja, belum kenal sudah ngajak
semotor. Kupandang dia, sebentar: “Udah deket”, lanjutku.
“Oke”, katanya, “Suatu hari, Milea, kamu akan naik
motorku. Percayalah”
Aku diam, karena gak tahu aku harus bilang apa
“Duluan ya!”, katanya.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata “iya”. Habis
itu, dia berlalu, memacu motornya.
Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau guru tahu,
pasti akan disuruh dimasukin ke celana.
4
Waktu istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama
sekali bukan untuk memenuhi ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak.
Aku hanya ingin membeli sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, teman sekelas,
Ketua Murid kelas 2 Biologi 3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada
yang mau dibahas.
Dia bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar dia saja
yang beli. Makasih kataku, dan memang, dia lalu pergi, ke kantin. Tak lama dia
kembali, membawa beberapa teh kotak.
Di kelas, selain Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya
teman sekelas. Hal yang dibahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk
aku menjadi sekertaris, dan juga sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3.
Aku sih oke saja. Bagiku, gampang lah itu.
Waktu kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang
permisi dan lalu masuk ke kelas. Nandan, Rani dan juga Agus, tahu siapa dia.
Namanya Piyan, siswa dari kelas 2 Fisika 1, datang memberiku surat, katanya itu
surat titipan dari kawannya, tapi tidak disebut nama kawannya.
Dengan sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca
surat itu:
“Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi
aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu”
Aku langsung bisa tahu siapa yang ngirim surat. Ini pasti
dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal. Nandan nanya,
dia ingin tahu surat apa, aku bilang cuma surat biasa.
Surat itu, segera kulesakkan dalam tas
sekolah, untuk kembali menyimak Nandan yang banyak bicara tentang ini itu yang
menurutku membosankan. Tapi aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi dengan
kata-kata mereka. Pikiranku,
entah mengapa, sebagian besar, mendadak melayang kepada Sang Peramal.
5
Hari itu hujan, aku pulang dijemput pamanku. Dia itu adik
dari ayahku, mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya Fariz.
Dia sudah lama di Bandung dan kost di daerah Setiabudi.
Ayah nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke
rumah dinas ayahku, karena ada sedikit keperluan. Di jalan pulang, entah
mengapa, ramalan orang itu: bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.
Apa? Besok? Hah, besok bertemu? Bukankah besok itu hari
minggu? Aku langsung bisa nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana
bisa bertemu, kalau tidak di sekolah? Dia, ah, cuma tukang ramal amatir!
Bagiku, tak lebih, dia hanya anak nakal, yang suka iseng
menggoda cewek. Huh! Jika itu baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia
harus tahu aku orangnya selektif.
6
Di hari minggu, waktu sedang nyuci sepatuku, aku mendengar
bel rumah berbunyi, karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil si Bibi untuk
meladeni tamu itu.
Kebetulan, hari itu, di rumah, hanya ada aku dan si Bibi.
Ayah, ibu dan adik bungsuku sedang pergi ke acara pernikahan saudara. Si Bibi
bergegas nemui tamu dan lalu balik kembali menemuiku:
“Tamu. Mau ke Lia”, kata si Bibi. Lia
itu nama panggilanku di rumah
Aku bersihkan tanganku dari busa dan
langsung ke sana, nemui tamu itu. Ya tuhan, aku kaget, ternyata tamunya adalah dia: Sang
Peramal. Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Berasa seperti sedang
terjadi kontak batin, antara aku dengannya, membahas ramalannya yang benar-benar terjadi
“Hei” Kusapa dia.
“Ada undangan”, dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan
sebuah amplop sambil masih berdiri di situ, di depan pintu.
“Undangan
apa?”, kupandangi amplop itu.
“Bacalah,
tapi nanti”
“Oke”
“Bacalah,
bahasa arabnya apa, Yan?” Dia nanya ke si Piyan yang datang bersamanya.
“Apa
ya?”, Piyan balik nanya
“Oh!
Iqra”, dia jawab pertanyaannya sendiri: “Iqra, Milea!”, katanya lagi.
“He
he he” Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja
kupandang matanya.
“Aku
langsung ya?”, dia permisi untuk pergi
“Kok
tahu rumahku?”, kutanya
“Aku
juga akan tahu kapan ulangtahunmu”
“He
he”
“Aku
pergi dulu ya?”
“Iya”
“Assalamualaikum
jangan?!”
“Assalamualaikum”
“Alaikumsalam”
“He
he he”
7
Aduh, Tuhan, siapa sih dia itu! Maksudku, selain seorang
Peramal, aku ingin tahu siapa dia itu sesungguhnya, dan mengapa tadi aku harus
gugup di depannya?
Aku masuk kamar dan senyum sendiri terutama karena
memikirkan soal ramalannya yang benar. Tapi kenapa dia tidak membahasnya?
Membahas soal ramalan? Atau sengaja? Entahlah. Aku baca surat undangan darinya
sambil selonjoran di atas kasur.
Itu adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di
atas kertas HVS. Aku langsung bisa nebak, surat itu dia bikin sendiri:
“Bismillahirahmannirahiim. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan untuk
sekolah pada: Hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu”. Semua nama
hari-hari itu, disertai dengan tanggal.
Di dalam surat itu ada nama: Tuan Hamid
Amidjaya. Itu Kepala sekolahku, sebagai orang yang turut mengundang. Di tiap sisi kertas, ada gambar
hiasannya. Dibikin pake spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa.
Setelah kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak
ingin pergi dari atas kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan
oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia sebenarnya.
Sambil tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang
menerawang, memandang atap kamarku. Ketika ada terbayang wajahnya, langsung
kupejamkan mataku, agar dengan begitu aku bisa mengusirnya, karena aku merasa
itu gak perlu. Gak penting!
Ah, sial. Itu hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan
tugas nyuci sepatu. Segera kusimpan surat itu, di dalam laci meja belajar,
sambil senyum-senyum sendirian, dan langsung pergi ke kamar mandi, menemui
sepatuku.
Kucuci sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya,
dan berusaha kulupakan dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran
meskipun sesekali. Aduh, hai, siapa sih dia itu?
Setahuku dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas
denganku. Cuma itu. Itu saja. Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia
tidak memberitahu namanya di saat pertama jumpa itu? Haruskah aku yang nanya?
Oh sori ya, gak mau!
Kudengar telepon rumah berdering. Aku senang,
karena itu dari Beni, pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah denganku waktu masih
di Jakarta, dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.
Beniku keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak
tampan-tampan amat, tapi cukup dan dia sangat baik. Ayahnya seorang artis film
terkenal, yang kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah ibuku.
Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya.
Meskipun sesekali suka bertengkar, tapi cuma masalah kecil, dan selalu bisa
diselesaikan dengan baik. Hampir setiap hari, Beni selalu menelponku untuk
melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya.
8
Hari senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut
upacara, aku berharap tidak ada satu pun orang tahu bahwa diam-diam mataku
mencari dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin
cuma ingin lihat saja. Tidak lebih dari itu.
Sampai upacara sudah mau selesai, orang itu, Peramal itu,
tak berhasil kutemukan. Di mana dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak
sekolah? Aku tidak tahu. Ah, ngapain juga kupikirin! Emang siapa dia?
Seorang guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi
komando, agar seluruh siswa jangan dulu bubar dari barisan. Kupandang ke depan
karena ingin tahu ada soal apa gerangan, oh saat itulah aku bisa melihat
dirinya.
Dia di sana, di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua
kawannya. Berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil
ditemukan dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.
Dia dan dua orang temannnya disebut Komunis oleh guru BP.
Aku tidak mengerti apa sebabnya seseorang sampai disebut komunis hanya
gara-gara tidak ikut upacara. Entahlah.
Nun di sana, di tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang
menyadari bahwa ada seseorang di tengah barisan peserta upacara, yang sedang
memandangnya, yaitu diriku. Atau tidak?
Tapi yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang
memandangnya dari jauh, dengan perasaan yang sulit kumengerti.
“Dia lagi!”, bisik Revi seperti ngomong sendiri. Dia
teman sekelas, yg berdiri di sampingku
“Siapa dia?”, kutanya Revi
“Dilan”
“Oh”
Dilan itu, adalah yang kemaren datang ke rumah, senyam-senyum
depan pintu. Komunis itu, adalah yang pernah nyuruh si Piyan ngirim surat ke
aku. Anak nakal itu, adalah yang kemaren sempat membuatku penasaran karena
ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
Mendadak, hari itu, aku bagai malu
sendiri bahwa aku pernah ada sangkut paut dengan dirinya. Mendadak, aku bagai
menyesal karena sudah merasa terhibur oleh surat undangannya.
Sampai-sampai kalau misal ada orang
yang nanya, apakah Milea kenal Dilan? Aku yakin, aku akan langsung pura-pura
tidak tahu. Apakah Milea teman Dilan? Entah mengapa segera akan langsung
kujawab: Bukan. Aku hanya mengenal Beni, pacarku! Beniku baik dan tidak nakal,
malahan guru-guru banyak yang suka kepadanya walau entah karena apa.
Kata Rani, di kelas, setelah upacara, Dilan itu anak kelas 2
Fisika 1 dan anggota gengmotor yang terkenal di Bandung. Jabatannya Panglima
Tempur. Oh ya ya. Aku sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok pake
pilox. Oh dia ternyata!
Aku betul-betul jadi takut. Dia pasti sangat nakal, dan juga
mungkin jahat. Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun
kalau benar dia begitu, mengapa juga harus takut, toh siapa pun dirinya, ayahku
seorang tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.
Pokoknya, mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha
mendekati, meskipun tidak harus kasar kepadanya. Dan tidak perlu terlalu
menanggapi apa pun yang ia lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian dari
usahanya untuk melakukan pendekatan.
Kalau dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin
dia akan minder setelah tahu siapa Beni. Dilan pasti akan mundur daripada harus
kecewa karena cinta yang tak sampai.
9
Bubar dari sekolah, cuaca mendung, aku pulang bersama
kawan-kawan. Ada Dilan yang menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin
dia pasti akan mengajak aku pulang bersamanya naik motor. Nyatanya tidak,
padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk bisa menolaknya.
“Kamu pulang naik angkot?”
Kujawab dengan anggukan. Entah mengapa, saat itu, aku
seperti gak enak dilihat kawan-kawan sedang didekati oleh dia, si anak nakal.
“Aku ikut….”
“Ikut apa?”, tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian
sudut mataku berusaha melihat ke arahnya.
“Naik angkot”.
“Gak usah”, jawabku sambil memandangnya sebentar
“Kan angkot buat siapa aja”
“Kamu kan naik motor?”
“Nanti motorku dibawa kawan”
“Eh?”
Lalu dia pergi. Kutengok sebentar ke belakang, dia datang
lagi dengan sedikit berlari. Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu
bukan urusanku, termasuk kalau hilang.
Di angkot, dia duduk di sampingku. Aku benar-benar jadi
kikuk, dan juga mati gaya.
“Ini hari pertama, aku duduk denganmu”
Tidak kurespon, karena memang gak perlu. Kuambil buku, lalu
kubaca. Mudah-mudahan bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya.
Mudah-mudahan bisa membantu membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu orang
yang sedang baca.
Tapi dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali
menyebut namaku:
“Milea”
Aku diam untuk tidak menanggapi.
“Kamu cantik”, katanya lagi dengan suara yang pelan tanpa
memandangku.
Heh? Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia
akan bicara begitu. Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa
kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa
seperti malu.
“Makasih”, akhirnya kujawab sambil tetap baca buku, dengan
intonasi yang datar, tanpa memandang dirinya. Dengan suara yang pelan bagai
berbisik, kudengar dia bicara:
“Tapi, aku belum mencintaimu…….Enggak tahu kalau sore”
Ih! Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam,
tidak mau merespon omongannya
“Tunggu aja”, katanya lagi.
Betul-betul, saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di
kupingnya: Apa sih kamu ini?! Tapi tidak kulakukan. Aku memilih diam dan
bersikap berusaha tidak akrab dengannya. Habis itu, dia juga diam.
“Aku ramal, kamu akan segera tahu namaku”.
Udah tahuuu! Gak usah diramal-ramal. Udah tahu! Tapi
kujawab:
“Iya”
Ketika sudah sampai, aku turun dari angkot, dan langsung
kaget, karena dia juga turun. Aku nyaris merasa kuatir dia akan mampir ke
rumahku. Jika benar, aku akan langsung melarangnya. Jangan sampai terjadi!
Syukurnya tidak. Dia pamit pergi, dan lalu nyebrang
jalan, untuk naik angkot lagi, menuju arah sekolah. Aku ramal, dia
ke sana pasti mau mengambil motornya.
Tadi, sebelum dia pergi, dia sempat bilang:
“Kamu tahu, Milea, semua siswa itu sombong?”
“Kenapa?”, tanyaku.
“Siapa yang mau datang ke ruang BP, menemui Pak Suripto?
Cuma aku, Milea!”
“Ooh!”, aku senyum, tapi sedikit.
Ketika dia pergi, muncul perasaan bersalah sudah bersikap
judes kepadanya. Pastilah dia sedih. Pastilah dia kesal. Dan besok, mungkin,
dia kapok.
Sesampainya di rumah, si Bibi memberiku
surat. Itu surat yang terbungkus dalam amplop warna ungu. Oh, surat dari Beni!
10
Kubaca surat Beni sambil terus kepikiran soal Dilan yang
mungkin hari ini sudah kecewa dengan sikapku. Apa salahnya dia, Milea? Mengapa
hari ini kau begitu, padahal baru kemaren engkau tersenyum kepadanya dan
sedikit terhibur oleh surat undangan yang dia berikan padamu?
Aku simpan surat Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu
berisi melulu soal cinta dan rindu itu. Heran, biasanya aku senang, entah
mengapa, hari itu, aku merasa seperti sedang berubah di dalam menilainya: Ah,
Beni kurang asik! Maksudku, mungkin aku merasa bosan dengan dia yang terlalu
monoton!
Si Bibi ngetuk pintu, manggil, untuk nyuruh aku makan. Aku
keluar dari kamar dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran
tentang omongan Dilan di angkot tadi:
“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore.
Tunggu aja”.
Kata-kata aneh, yang sudah membuatku tersenyum dan yang
terus nempel di kepalaku sampai malam harinya. Di kamar, tiba-tiba ku ketawa,
dan teriak dalam hati, seolah-olah hal itu kutujukan padanya: Mau cinta mau
enggak, dengar ya, hai kau yang bernama Dilan: Terseraaaaaahhh! Itu urusanmu!
Emang gua pikirin!?
Setelah usai shalat isya, aku dapat telepon dari Beni. Dia bicara lama
sekali. Atau sebentar? Tapi entah mengapa aku merasa itu sangat lama. Dan
katanya, dia mau ke Bandung, nanti, minggu depan.
“Kamu senang?”, Beni nanya apakah aku senang jika dia ke
Bandung menemuiku? Kujawab:
“Iya”
Memang, harusnya aku senang, Beni. Oke, kalau begitu,
baiklah, aku akan berusaha untuk senang.
11
Itu hari selasa, ketika aku mendapat surat dari Dilan.
Entah bagaimana Dilan bisa nitip suratnya ke Rani. Isi suratnya pendek:
”Pemberitahuan: Sejak
sore kemaren, aku sudah mencintaimu – Dilan!”.
Aku seperti terkesiap membacanya. Lalu dengan cepat,
langsung kututup surat itu.
Jadi malu sendiri rasanya, dan berharap Rani tidak sudah
membacanya. Kayaknya
belum, karena surat itu dimasukkan ke dalam amlop yang tertutup.
Aku hanya kuatir orang-orang akan tahu apa isinya. Lalu
dengan cepat kumasukkan ke dalam tas, seolah dengan itu bisa kujejalkan sampai
masuk sedalam mungkin.
Dia, menurutku, hari ini, harus bertanggungjawab, karena
sudah berhasil mengganggu kosentrasi belajarku.
12
Di kantin, pada waktu istirahat, aku duduk satu meja dengan
Nandan, Dito, Jenar dan Rani. Masing-masing makan batagor sambil bicara ini itu
yang gak perlu. Mereka semuanya teman sekelas, kecuali Jenar, dia anak kelas 2
Sosial.
Dilan pasti di sana, bersama kawan-kawannya, di warung bi
Eem. Aku belum pernah makan di sana, selain cuma lewat setiap pergi dan saat
pulang sekolah.
Warung kecil, kira-kira 30 meter dari sekolah, di samping
gereja Pantekosta. Huh! Aku juga tahu, kenapa kamu milih ke sana. Biar bisa
merokok.
13
Aku mau cerita tentang yang lain yang
bukan Dilan. Ini tentang Nandan. Nandan Hadi Prayitno. Kata Rani, Nandan naksir
aku, tapi aku cuma senyum mendengarnya, karena soal itu sudah lama aku tahu.
Aku bisa membaca bagaimana sikap dan perilaku Nandan
kepadaku. Bagiku, semuanya, termasuk suka nelepon malam hari nanya-nanya soal
PR, nraktir kami makan di kantin, berusaha membuatku ketawa dengan aneka macam
lawakan, itu adalah modus, untuk mencari perhatianku.
Aku setuju, kalau ada yang bilang Nandan baik. Dan, kalau aku
boleh jujur, Nandan lebih tampan dari Dilan. Nandan juga humoris, jago basket,
dan lain-lain, pokoknya Nandan adalah lelaki idaman tiap wanita.
Nandan juga masih jomblo, masih belum
punya pacar. Pernah sih dekat dengan Pila, anak kelas 2 Sosial, tapi ga tahu
kenapa, belakangan hubungan mereka jadi renggang.
14
Sumpah, aku terkejut, pas kulihat ada
Dilan. Dia datang ke kantin bersama dua orang yang belum kutahu namanya. Entah
bagaimana perasaanku saat itu, sangat sulit kuungkapkan. Aku hanya tahu aku
menjadi salah tingkah.
Dia mendatangi meja kami, dan menyapaku:
“Hei, Milea!”
“Hei, Dilan”
“Cuma nyapa”
Lalu dia pergi bersama kedua temannya, entah kemana,
mungkin ke kelas, tapi sebelum pergi, dia bicara ke Nandan:
“Eh, Dan, kamu tahu gak?”
“Tahu apa?”
“Aku mencintai Milea?”
“He he he”. Nandan tersenyum sambil sekilas memandangku.
Rani, Dito dan Jenar, semuanya ketawa. Mukaku pasti merah.
“Tapi malu mau bilang”, kata Dilan lagi
“Itu, sudah bilang? He he” Nandan ketawa kecil
“Aku kan bilang ke kamu, bukan ke dia”
“Dia denger kan?”, tanya Nandan
“Mudah-mudahan”
Dilan pergi. Bisa kubaca mata Nandan, kayaknya dia
merasa keganggu oleh kata-kata Dilan. Bisa jadi itu cuma tebakanku saja. Aku
bukan ahli membaca bahasa tubuh. Cuma aku yakin, Nandan tidak suka dengan Dilan, sejak itu,
sejak dia tahu Dilan menyukaiku. Mencintaiku.
15
Setelah istirahat selesai, kami masuk lagi ke kelas untuk
ikut pelajaran lainnya. Kamu tahu kemana Dilan? Dilan masuk ke kelasku, dan
duduk di bangku sebelahku, membuat Rani jadi pindah ke kursi belakang yang
memang kosong.
Heran, kenapa tidak seorang pun yang berusaha ngusir Dilan?
Nandan sebagai dirinya Ketua Murid, cuma bisa diam saja. Sejujurnya, aku sendiri
merasa risih dengan adanya Dilan. Tapi mau gimana lagi.
Dilan minta kertas, aku kasih. Di kertas itu,
dia nulis:
Informasi:
Daftar orang-orang yang ingin jadi pacarmu:
1. Nandan
(Kelas 2 Biologi)
2. Pak Aslan
(Guru Olah Raga)
3. Tobri
(Kelas 3 Sosial)
4. Acil (Kelas 2 Fisika)
5. Dilan (Manusia)
Aku senyum membacanya. Kemudian kulihat dia mencoret
semua nama di daftar itu, kecuali nama dirinya.
“Kenapa?”, kutanya
“Semuanya akan gagal”, dia bilang begitu dengan berbisik.
“Kecuali kamu?”
“Iya. Doain”
Kawan-kawanku sibuk dengan dirinya sendiri, seolah-olah
tidak merasa terganggu oleh adanya Dilan, meskipun aku yakin mereka pasti gak
suka. Kulihat Nandan, duduk terus di bangkunya, seperti orang bingung yang gak
suka ada Dilan, tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Pak Atam, guru pelajaran Bahasa Indonesia, sudah datang
masuk kelas, tapi Dilan tidak pergi. Tetap duduk. Edan ini orang, pikirku!
Dilan benar-benar ikut pelajaran Pak Atam. Sambil berbisik, aku ngomong ke dia:
”Nanti kamu dialpain di kelasmu”
“Ga apa-apa”, jawabnya, seraya tetap memandang ke depan,
menyimak pelajaran, sampai akhirnya Pak Atam tahu ada seorang penyelundup:
“Kenapa di sini?”. Pak Atam nanya. Kawan-kawan sekelas
memandang semua ke arah Dilan. Muka mereka seperti puas karena akhirnya Pak
Atam tahu dan menegurnya.
“Salah masuk, Pak! Maaf!!”, jawab Dilan sambil beranjak
dari duduknya dan pergi diiringi tatapan Pak Atam yang tidak respek kepadanya.
16
Waktu bubar sekolah, Dilan nyusul dan bilang:
“Aku mau datang ke rumahmu. Malam ini”.
Hah? Aku kaget.
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Ayahku galak”
“Menggigit?”
“Serius”
“Aku tidak takut ayahmu”
“Jangan! Pokoknya jangan”
“Aku mau datang”, katanya, sambil berlalu.
“Jangan ih!”, tanpa sadar aku bicara agak teriak. Aku jadi
merasa malu sambil kupandang ke banyak arah, berharap tak ada orang yang
denger.
17
Aku belum ngantuk, masih terus ingin
nulis. Suamiku masih juga belum pulang. Mick Jagger, bersama Rolling
Stonesnya, sudah habis. Giliran Bob Dylan yang nyanyi. Sampai mana ceritanya?
Oh ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang. Itu kira-kira
pada pukul tujuh malam. Awalnya kudengar suara motor, masuk ke halaman rumahku.
Aku yang sedang makan malam, langsung bisa yakin, tidak salah lagi, itu pasti
Dilan.
Aku lekas masuk kamar bersama piring makan malamku dan
bersama perasaan yang tidak karuan.
Biasanya ayahku jarang di rumah, sudah
hampir tiga hari ini dia cuti. Malam itu, dia sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan
radio CB-nya. Ibuku juga di sana, sedang mencatat urusan kegiatan semacam
Dharma Wanita, Bhayangkara atau apalah.
Jika bel rumah berbunyi, maka salah satu di antara merekalah
yang akan membuka pintu. Menyambut Dilan, kalau benar tamu itu adalah Dilan.
Ya, Tuhan, bisikku dalam hati. Kututup kepalaku dengan bantal sambil tiduran di
kasur.
Entah siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti ada dialog
di sana, tapi tidak bisa kudengar. Aku ingin tahu, Aku merasa akan lebih baik
jika tetap diam di kamar. Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara motor itu,
keluar dari halaman rumahku. Ya, jika itu Dilan, dia sudah pergi.
Dengan aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku duduk
di kursi belajarku, meneruskan makan malam sampai habis dan lalu keluar dari
kamar untuk menyimpan piring makanku.
Selesai dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke kamar,
telepon rumahku berdering. Aku lebih dekat ke tempat telepon, sehingga aku yang
ngangkat dan itu adalah telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama kalinya.
Tidak
usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor telepon rumahku. Kukira dia banyak
akal.
“Hallo?”,
kusapa yang nelepon
“Selamat malam”
“Malam”
“Bisa bicara dengan Milea?”
“Iya, saya”
“Oh. Aku Dilan”
“Hey”. Mendadak jantungku langsung deg-degan.
“Milea bisa bicara dengan aku?”
“Iya bisa”
“Tadi aku datang”
“Iya”
“Kau tahu?”
“Tahu”
“Kau tahu kenapa aku datang?”
“Kenapa?”
“Kalau aku gak datang, gara-gara kamu bilang ayahmu
galak, berarti aku pecundang”
“Iya”
“Lebih baik aku datang. Kalau nanti dimarah, itu bagus,
kamu akan kasihan ke aku”
“He he”.
“Kasihan gak?”
“Tadi dimarah?”
“Enggak”
“Syukurlah”
“Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur”
“Oh”
“Kenapa sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?”
“Iya”
“Ha ha ha ha ha”. Dilan ketawa
Sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Boro-boro
ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin singkat-singkat. Entah mengapa,
aku merasa ga enak, kuatir ayah dan ibu dengar. Seolah saat itu aku merasa
bahwa mereka akan marah kalau tahu itu telepon dari Dilan, meskipun belum tentu
mereka akan begitu.
Selesai
nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayahku nanya, telepon
dari siapa, aku jawab dari Beni. Dan di kamar, selain kupakai untuk
menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku kugunakan untuk memikirkan dialog
terakhir dengan Dilan di telepon:
“Boleh aku
meramal?”, Dilan nanya
“Iya”
“Iya apa?”
“Boleh”
“Aku ramal, nanti kamu akan menjadi pacarku!”
“He he he”
“Percaya tidak?”
“Musyrik”
“Ha ha ha”
“He he he”
“Hey, Milea”
“Iya”
“Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur saja bilang ke kamu
bahwa aku mencintaimu?”
“Enggak”
“Padahal kalau mau, aku bisa. Itu gampang”
“Terus? Kenapa?”
“Kalau langsung, gak seru. Terlalu biasa”
“He he he”
“Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang
mengucapkan selamat tidur, dari jauh. Kamu ga akan denger”
“He he he”
Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan,
haruskah terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar? Iya,
kayaknya harus. Biar sejak itu, Dilan akan berhenti mengejarku.
Biar Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan, yang
kalau aku harus jujur, sebetulnya aku juga suka. Seru! Tidak, kayaknya tidak.
Enggak usah aku bilang. Biarin saja. Aku merasa, sejak ada Dilan di dalam
hidupku, ah, susah kukatakan dengan kata-kata.
Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang di
Bandung, satu sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku?
Kayaknya jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru malah akan nambah
masalah dari pada berusaha menyelesaikannya. Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak
akan bisa menolongku!
Lebih baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu di mana
sekarang, Dilan? Hati-hati kalau di jalan. Kututup mataku dengan bantal dan:
“Selamat tidur juga, Dilan”
18
Aku baru selesai dari kantin, bersama
Nandan, Hadi dan Rani. Tak ada Dilan. Dia jarang ke kantin. Aku sendiri juga
heran, kalau memang benar dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin
menemuiku? Kenapa
lebih memilih kumpul bersama teman-temannya di warung bi Eem?
Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara
denganku, setidaknya dengan itu, aku bisa tahu langsung darimu, benarkah kamu
suka nge-ganja seperti yang dikatakan oleh Nandan dan Dito? Benarkah kamu suka
minum-minuman keras, seperti yang dikatakan oleh Nandan, Erfan dan Rani?
Benarkah kamu playboy, punya banyak pacar, seperti yang dikatakan oleh Nandan?
Aku tidak bermaksud mau ikut campur urusanmu, Dilan.
Siapalah aku ini. Tetapi rasanya hampir setiap hari aku selalu mendapat
informasi yang buruk tentangmu. Aku ingin tidak percaya.
Tetapi jika memang itu benar, ya sudah,
aku jadi tahu siapa dirimu dan bagaimana harusnya aku bersikap kepadamu, itu
pilihanku. Kamu bukan pacarku, apa urusanku memikirkan dirimu, tapi aku tidak
tahu, Dilan, mengapa aku ingin tahu.
Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi begini?
19
Dari kantin, sebelum mau masuk ke kelas, aku berpapasan
dengan Dilan dan kawan-kawan. Pasti baru datang dari warung bi Eem.
“Milea!”, dia manggil dan mendekat
“Ya?”
“Boleh ga aku ikut pelajaran di kelasmu lagi”,
“Kamu mau bikin aku senang?”. Kupandang matanya, hampir-hampir
gak percaya bahwa aku bisa nanya seperti itu kepadanya.
“Iya?”
“Ikuti mauku”
“Apa itu, Milea?”
“Jangan!”
“Oh. Oke, kalau begitu”
Dia pergi. Aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran
berikutnya. Itu adalah pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, nama
gurunya Ibu Sri, aku masih ingat.
Bukan ibu Srinya yang kuingat, tapi
kejadiannnya, yaitu selagi Ibu Sri sedang menjelaskan materi pelajaran, papan
pembatas kelas itu tiba-tiba roboh, jatuh ke arah kami.
Ibu Sri lari sambil teriak:
“Allahuakbar!!”. Semua orang juga lari, berusaha menghindar ke arah bangku di
bagian paling belakang.
Dari sana, bisa kami saksikan sendiri,
bagaimana papan pembatas kelas itu roboh bersama dua orang yang masih
menggantung di atasnya, seperti sedang menggulingkan papan tulis.
Kedua orang itu adalah: Piyan dan
Dilan! Sejak itu, kami bisa melihat wajah-wajah siswa di kelas 2 Fisika 1 pada
melongo semua.
Bagaimana itu bisa terjadi? Aku dapat penjelasan langsung
dari Dilan setelah beberapa bulan kemudian. Katanya, waktu itu, di kelas sedang
tidak ada pelajaran, gurunya tidak datang karena sakit. Dia dan Piyan, berusaha
naik ke atas pembatas kelas, untuk mencapai lubang pentilasi yang ada di tembok
bagian atas.
“Ih! Ngapaiiiin?”, kutanya
“Ngintip kamu ha ha ha ha”
“Ha ha ha ha”
“Resiko tinggi mencintaimu”
“Ha ha ha”
Tapi itulah yang terjadi. Mau gimana lagi. Wati, teman
sekelasku, mungkin jengkel. Dia hampiri Dilan, dan melemparkan buku pelajaran
ke arahnya, sambil ngomong:
“Maneh wae, Siah!”. Itu bahasa sunda, kira-kira artinya: “Elu
lagi! Elu lagi!”
Dilan tak melawan. Aku langsung ingin tahu, siapa Wati
sebenarnya? Kenapa dia berani kepad Dilan? Dan Dilan diam saja. Selidik punya
selidik, ternyata ibunya Wati adalah adik dari Ayahya Dilan. Ya, Tuhan, kenapa
aku baru tahu?
Dilan dan Piyan, dibawa ke ruang guru! Anehnya aku tidak
cemas. Anehnya aku percaya, Dilan pasti bisa menghadapinya dengan tenang.
Tapi sejak peristiwa itu, selama dua hari, aku tidak lihat
Dilan di sekolah dan juga di mana pun. Mungkin dia sakit. Mungkin dia diskors.
Aku tidak tahu. Aku ingin tahu. Tapi bingung bagaimana caranya? Nanya ke Nandan
atau Rani, kuatir akan nyangka yang bukan-bukan. Nyangka aku perhatian atau
apalah, meskipun iya begitu, tapi mereka jangan tahu.
20
Keinginanku bisa ke kantin berdua dengan Wati, akhirnya
kesampaian. Di kantin, ada Nandan, Rani dan Jenar ingin gabung, makan satu meja
dengan kami, tapi kubilang aku ada urusan dengan Wati. Untung mereka ngerti.
Pasti kamu tahu, tujuanku ngobrol dengan Wati. Meskipun
malu, harus kuakui, bahwa dari Wati, aku ingin dapat informasi lebih banyak
tentang Dilan. Maksudku, ini menyangkut tentang banyak informasi buruk yang
kudapat tentang Dilan. Aku ingin tahu semuanya, apakah semuanya itu benar?
Bukan mau ikut campur. Aku mengerti, hidup Dilan urusannya.
Bagaimana pun dirinya, apalah urusanku dengan itu. Aku bukan
siapa-siapanya. Aku bukan pacarnya. Tapi, pengetahuanku tentang Dilan, bagiku,
bisa sangat membantu untuk bagaimana harusnya aku bersikap kepadanya.
Atau, entahlah, aku sendiri tidak mengerti, apa sesungguhnya
yang membuat aku jadi begitu. Jadi seperti detektif yang ngorek-ngorek
informasi orang lain. Tapi, cobalah kamu jadi aku, aku yakin kamu juga akan
melakukan hal yang sama.
Aku duduk berdua dengan Wati, agak di dekat jendela. Aku harus
hati-hati, jangan sampai Wati tahu tujuanku. Setelah ngobrol tentang hal lain
yang gak penting, aku mulai berusaha mengarahkan pembicaraan supaya membahas
pada pokok yang kumaui:
“Eh, ngomong-ngomong, kemarin, waktu si Dilan jatuh, kamu
lempar dia pake buku, kok kamu berani sih?”
“Oh? Ha ha ha. Berani lah! Habisnya kesel. Dia itu nakal
tahu? Di rumahnya juga begitu!”
“Kamu saudaraan ya?”
“Iya, ibuku kan adik ayahnya”
“Oh, pantes! Enggak. Kaget aja, pas lihat kamu berani
mukul dia ha ha ha”
“Habisnya kesel. Nakal dia itu”
“Nakal gimana?”
“Ah, banyak! Pernah tuh, waktu malam minggu, kapan ya,
pokoknya dia motong ayam ibuku, diambil di kandang gak bilang-bilang”
“Oh ya?”
“Disate tahu gak?! Dimakan sama temen-temennya di
belakang rumah dia!”
“Ha ha ha. Mabuka-mabukan ya?”
“Enggaklah!”
“Tahunya enggak?”
“Tahu aja”
“Ngambil ayam ibu kamu? Kok berani?”
“Pas ditegur ibuku, dia bilangnya salah ngambil, gelap,
gak kelihatan”
“Ha ha ha”
“Padahal, kamu tahu gak? Ayahnya itu galak. Tentara”
“Oh ya?!”
“Iya”
“Kecabangan apa?”
“Gak tahu tuh. Gak ngerti”
“Si Dilan pasti pacarnya banyak tuh!”
“Ah, siapa? Kayaknya ga punya pacar dia mah? Terlalu cuek
ke cewek!”
“Mungkin masih lebih suka main sama kawan-kawannya”
“Iya kali”
“Emang belum punya pacar?”
“Enggak tahu tuh. Eh, kok jadi ngomongin si Dilan sih?!”
“Iya ha ha ha. Wat, aku pengen main dong ke rumahmu?”
“Boleh aja. Kapan?”
“Nanti deh, aku bilang dulu ke nyokap”
“Hayu”
Yes! Yes! Yes! Aku mauu, Wati. Nanti kita ngobrol
yaaaaa!!!
21
Dilan kulihat sekolah lagi. Tapi sejak itu, selama tiga
hari, tidak ada gerakan apa-apa dari Dilan yang bersangkut paut dengan diriku.
Bahkan sampai sehari menjelang ulangtahunku, Dilan kayaknya bersikap biasa
saja.
Aku sempat berfikir, jangan-jangan Dilan malu oleh
kejadian robohnya papan pembatas kelas. Atau, mungkin dia sudah tidak mau lagi
denganku. Atau apa? Aku gak tahu! Aku gak tahu! Termasuk aku gak tahu kenapa
hal itu membuat aku jadi sedih!
Meskipun tidak kurayakan ulangtahunku, tapi banyak
kawan-kawan yang pada ngasih kado, termasuk Nandan. Dia ngasih boneka panda
yang cukup besar. Boneka itu dibungkus dalam plastik, dengan ujungnya yang
diikat pita merah. Nandan ngasih kado itu di kelas, pada waktu istirahat:
”Selamat ulangtahun, Milea. Panjang umur ya. Kadonya
boneka, biar apa coba?”
“Biar apa?” Aku senyum.
“Biar kalau tidur, kamu bisa memeluknya”.
“Ih”, aku senyum lagi
Mungkin dia bercanda, atau mungkin juga serius, tapi yang
pasti, mendengar Nandan bilang begitu, kawan-kawanku yang saat itu ada di
kelas, pada teriak:
”Asik euy!!!”.
“Suit-suit!!”
Apa siiih. Biasa aja! Cuma kado Panda,
kalau ada uangnya, semua orang bisa beli. Meluk boneka, mau bentuknya panda mau
monyet, bagaimana bisa kurasakan seolah aku sama sedang memeluk orang yang
memberinya? Mungkin ada yang bisa begitu, tapi aku tidak, kecuali boneka itu
bikinan sendiri.
Dan Beni, sengaja datang ke Bandung,
demi untuk merayakan ulangtahunku. Dia ke rumah pada pukul dua belas malam,
bersama empat orang temannya, Adhit, Bram, Lilo dan Ical. Beni memberiku seikat rangkaian
bunga yang indah. Warna warni dan harum baunya.
Itu bunga kasih sayang katanya, sambil mengecup keningku.
Dia juga membawa kue ulang tahun, yang kami nikmati di ruang tamu, setelah
sebelumnya ada perang colek-colekan krim kue yang seru. Beni pulang ke Jakarta,
satu jam kemudian.
Dilan? Pada harinya, dia tidak memberiku ucapan ulangtahun.
Aku sempat curiga, jangan-jangan Dilan gak tahu ulang tahunku. Mana? Katanya
kamu akan segera tahu hari ulangtahunku?
Kamu tahu tidak, Dilan? Aku sempet yakin, kamu akan
menelponku tepat pada pukul 00:00, menjadi orang awal yang mengucapkan selamat
ulangtahun untukku. Nyatanya tidak. Aku bingung, apakah aku harus kecewa atau
tidak?
Jika aku kecewa, emang siapa diriku bagimu? Kalau tidak
kecewa, tapi aku menunggu ucapanmu, Dilan. Aku tidur dalam gelombang perasaan
yang kosong.
22
Hari itu, aku sedang belajar Biologi, pelajaran praktek
mnggambar anatomi kodok dibagi ke dalam beberapa kelompok, tiba-tiba terdengar
pintu kelas ada yang ngetuk. Aku terkejut ketika tahu orang itu adalah Dilan.
Untunglah gurunya Pak Rahmat, dan Dilan juga kayaknya
tahu, Pak Rahmat baik, sehingga barangkali itulah maka dia jadi berani. Atau,
itu cuma kebetulan. Kukira, dia pasti akan berani meski siapa pun gurunya.
“Permisi, Pak?”
“Iya?”, jawab pak Rahmat yang sedang duduk di kursi guru.
“Maaf. Ada titipan penting buat Milea”
“Oh. Iya. Silakan”
Dilan masuk, mendatangiku, dilihatin oleh hampir semua
orang yang ada di kelas. Bungkusan yang dibawanya, entah apa itu, dia berikan
kepadaku sambil menjabat tanganku:
”Selamat Ulangtahun, Milea”.
“Makasih, Dilan”, aku senyum. Aku memandang matanya
sebagaimana ia juga kepadaku!
Habis itu, dia pergi seraya pamit
kepada Pak Rahmat. Heran,
aku merasa tidak malu. Heran, aku justeru malah bangga. Terimakasih, Pak Rahmat
yang baik, guruku yang tua dan pendiam. Aku tidak ingin bilang bagaimana sikap
Nandan saat itu, kau tebaklah sendiri.
Jika hari itu ada yang bilang bahwa hatiku berbunga-bunga,
aku langsung akan setuju. Aku senang, hari itu, ah, entah bagaimana kukatakan,
pokoknya itu adalah hari pertamaku memegang tangan Dilan! Atau, hari itu
adalah hari pertama Dilan memegang tanganku!
23
Jangan diganggu. Aku lagi di kamar, sendirian,
membuka kado Dilan. Tak sabar rasanya ingin tahu apa isinya. Bungkus kadonya
dipenuhi oleh gambar yang dibikin dengan menggunakan spidol warna-warni, entah
siapa yang bikin. Mungkin dia. Mungkin nyuruh kawannya yang jago gambar.
Pelan-pelan kusobek ujung dari pembungkus kado itu. Dan,
mari kuberitahu apa isinya: Satu buah TTS!!! Sama, aku juga terkejut. Kenapa
TTS? Kubuka-buka, barangkali TTS itu cuma hal lain dari inti kado yang
sesungguhnya.
TTS nya udah diisi semua. Sudah dijawab
semua, entah benar atau tidak. Belum sempat kuperiksa, sudah kudapati di tengahnya ada selembar
kertas putih. Ukuran A4 dengan tulisan tangan Dilan yang bagus:
SELAMAT ULANG TAHUN, MILEA.
INI HADIAH UNTUKMU, CUMA TTS.
TAPI SUDAH KUISI SEMUA.
AKU SAYANG KAMU
AKU TIDAK MAU KAMU PUSING
KARENA HARUS MENGISINYA.
DILAN!
24
Hari-hari berikutnya, ada yang lain
dari Dilan. Aku merasa Dilan berubah. Seperti menjauh. Bahkan sudah masuk
kategori boleh kuanggap sombong.
Tak ada lagi hal yang ia lakukan
untukku, sebagaimana selalu kudapatkan sebelumnya. Dia tidak pernah ke kantin,
sehingga kalau di sekolah, hanya sesekali saja aku bisa melihatnya, dan itu pun
dari jauh.
Aku tidak tahu, mengapa dia jadi gitu?
Aku tidak merasa perlu bertanya kepada Wati, karena Wati pasti akan menjawab
tidak tahu. Itu urusan Dilan.
Pada kesempatan bertemu Piyan,
kuberanikan diriku minta waktunya Piyan untuk ngobrol denganku. Boleh, katanya.
“Tapi jangan
sampai Dilan tau”
“Kenapa
memang?”, Piyan senyum
“Nanti deh aku
cerita”
“Sip!”
25
Akhirnya aku bisa ngobrol dengan Piyan, pada waktu
istirahat, di tempat tukang photo copy yang ada di luar sekolah. Aku ceritakan
semuanya, dari mulai awal aku bertemu Dilan, sampai tentang banyak hal yang
sudah ia lakukan untuk “mendekati”ku. Piyan ketawa. Sama, aku juga ketawa.
“Tahu gak, Mamaku ketawa, pas aku ceritain soal dia
ngasih TTS buat hadiah ulangtahunku”, kataku kepada Piyan.
“Si Gelo!”
“Ha ha ha ha. Dia pernah ngasih coklat ke aku. Tahu siapa
yang nganterinnya?”
“Siapa?”
“Tukang koran ha ha ha! Yang suka datang ke rumah
nganterin majalah langganan”
“Ha ha ha”
“Yang nerimanya si Bibi!!”
“Hah? Ha ha ha terus?”
“Pas dia tau tukang koran itu ngasih coklat buat aku, Si
Bibi pastilah nanya dari siapa?”
“Apa kata tukang koran?”
“Dari Dilan, penjaga Milea ha ha ha!”
“Anjrit! Ha ha ha”
“Ada lagi! Ada lagi!”
“Apa?”
“Kan dia nelpon……..”
“Ya?”
“Yang nerima si Bibi”
“Terus?”
“Dia malah ngobrol, sama si Bibi…coba! Bukannya langsung
bilang mau bicara sama aku”
“Skandal! Ha ha ha. Ngobrol apa?”
“Kata si Bibi sih, dia ngaku teman aku, dan tukang ramal.
Ngaku bisa tahu angka berapa judi Porkas besok keluar”. (Porkas itu semacam
judi yang dilegalkan oleh pemerintahan zaman Orde Baru. Konon, untuk membantu
kegiatan olah raga di tanah air. Sekarang sudah tak ada)
“Ha ha ha berapa katanya?”
“Ah, paling juga dijawab ngawur. Terus, dia bilang,
sampaikan ke Lia, kalau sholat harus menghadap kiblat”
“Ha ha ha ha”
“Ada lagi! Ada lagi!”
“Banyak amat!”
“Banyak, Piyaaaan!”
Terus kenapa sekarang Dilan berubah, Piyan? Kenapa dia jadi
sombong, Piyan? Si
Piyan bilang tidak tahu. Tapi kemudian dia cerita bahwa, Dilan sering cerita
soal aku. Ah, aku senang pas dia ngomong bagian yang ini.
“Nah, soal dia
berubah, apa ya? Dia pernah bilang sih: Jangan diganggu Milea. Dia sudah
pacaran sama Nandan?”
“Hah? Apa?”
“Iya. Dia
bilang gitu. Menurutku sih kayaknya gara-gara itu deh. Bisa jadi”
“Kok? Enggak
ih!! Kok dia bisa bilang begitu?”
“Enggak tahu.
Dilan bilang ke aku sama si Ajun, katanya, sudah jangan diganggu”
“Iiihh, Enggak,
Piyan ih! Bilangin ke dia!”
“Bilang
gimana?”
“Aku enggak
pacaran sama Nandaan!!”
“Ya, udah,
nanti aku bilang!”
“Harus, Piyan!
Jangan lupa sampaiin. Tolong ya, Piyan!”
26
Aku tahu sekarang. Pantesan Dilan jadi
gitu! Aku enggak pacaran sama Nandan, Dilan! Emang siapa sih yang bilang,
sampai kamu bisa ngomong begitu? Pokoknya Piyan harus menyampaikan kepadanya
bahwa aku tidak pacaran sama Nandan! Titik! Harus! Wajib!
Sejak itu, mulai besoknya, aku sudah tidak pernah ke kantin
lagi bareng-bareng dengan Nandan. Setiap hari, selalu kuusahakan punya alasan
untuk menolak ajakan Nandan pergi ke kantin. Sampai-sampai kalau pas istirahat
aku lebih sering memilih untuk diam di kelas.
Jengkelnya kalau Nandan sudah ikut-ikutan diam di kelas, aku
jadi pura-pura pergi ke toilet atau kemana lah yang penting terhindar dari
gosip bahwa aku pacaran sama Nandan. Ya, Nandan pasti ngerasa aku berubah. Ya,
aku juga kasihan ke dia. Tapi biarin! Asal Jangan Dilan yang berubah ke aku!
Bagaimana dengan Beni? Ya, aku pacaran dengan dia. Tapi, aku
mau ke dia karena dulu belum tahu bahwa di dunia ini ada Dilan! Mengerti kaaan?
Selama cuma pacaran, kukira, aku masih punya hak untuk memilih, sampai bisa
kudapati orang yang pantas kunikahi! Coba jadi aku deh, biar bisa kau
maklumi.
27
Hari itu adalah hari sabtu, belajar di kelas ditiadakan,
karena ada acara seleksi pemilihan siswa terbaik, yang akan mewakili sekolah
menjadi peserta Cerdas Cermat di TVRI. Acara itu di selenggarakan di aula
sekolah.
Pesertanya diambil dari tiap kelas, sebanyak tiga orang,
yaitu mereka yang tercatat sebagai siswa yang selalu mendapat rangking 1, 2 dan
3. Diambil dari kelas Sosial, Biologi dan Fisika. Di kelasku yang terpilih adalah
Gatot, Enjang dan Warti. Mau tahu tidak, siapa siswa yang ditunjuk dari kelas 2
Fisika 1? Dia adalah: Dilaaaaaaaann!! Yeeeeee!!! dan dua orang lagi yang aku
sudah lupa namanya. Masing-masing dicampur menjadi beberapa group.
Ketika acara itu dimulai, aku nonton sedikit agak di depan,
ah kau taulah kenapa. Aku bisa puas melihat Dilan dari agak sedikit dekat,
meskipun, aku GR sedikit ya, aku takut kalau Dilan tau ada aku, nanti akan
membuatnya grogi. Nyatanya tidak, kulihat dia biasa saja.
Itu acara yang seru. Satu sesi menampilkan 3 group. Group A,
B dan C. Ketika giliran groupnya Dilan, aku langsung degdegan! Serius! Sangat
berharap groupnya Dilan akan menang dan terpilih! Tapi pas selesai babak satu,
babak dua dan tiga, hasil perhitungan nilai menunjukkan groupnya Dilan dapat
posisi kedua. Aku sedikit kecewa.
Aku berharap, groupnya Dilan bisa mengejar ketinggalan pada
sesi pertanyaan rebutan. Itu adalah sesi di mana Sang Penanya akan memberikan
pertanyaan kepada siapa saja, dan yang bisa lebih dulu memijit bel, akan
mendapat kesempatan untuk menjawab. Resikonya adalah, jika jawabannya itu
salah, maka akan dikurangi nilainya.
Dari jauh aku bisa lihat Dilan nampak
terlihat tenang. Iya, bagus, Dilan, harus gitu! Jadikan ini hari terbaikmu!
Tetap semangat. Doaku selalu menyertaimu. Begitulah aku hari itu. Repot dengan
diriku sendiri. Lebih
repot dari mereka yang lebih pantas untuk repot. Biariiiiiin!
Sesi pertanyaan rebutan dimulai. Sang Penanya mengajukan
pertanyaan:“Siapa menteri Agama Kabinet Pembangunan V?”. Aku senang, pas tahu
Dilan berhasil mijit bel lebih dulu. Yes! Dilan pasti tahu!
Tapi apa jawaban Dilan waktu itu?: “Mahatma Gandhi!”. Aku
langsung kecewa! Bukan ih!! Munawir Sadjali, Dilaaaaaann!! Aku langsung curiga,
dia pasti sengaja! Pasti!!!
Semua orang ketawa bahkan ada yang sampai terkekeh-kekeh.
Tentu saja, karena penonton juga tahu, Mahatma Gandhi itu bukan Menteri Agama,
tapi seorang Penggerak Kemerdekaan India!
Kalau aku pernah sangat jengkel ke Dilan, maka itulah
harinya! Tapi, asli, ini adalah kenangan lainnya dari dia yang tidak bisa
kulupakan.
Tidak cuma itu! Waktu ada pertanyaan:” Jelaskan latar
belakang pergeseran kekuasaan yang membentuk undang-undang dari Presiden
menjadi kewenangan DPR?”. Tahu apa jawaban Dilan? Setelah dia berhasil bisa
mijit bel lebih awal? Dia menjawab dengan tenang:”Tidak tahu, Pak!”.
Semua orang ketawa. Aku tidak! Serius, aku tidak! Aku
justeru jengkel ke dia. Ya, udah, Dilan, kalau memang tidak tahu, jangan
dijawab ih! Jadi aja nilaimu terus dikurangi dan akhirnya group kamu kalah! Gak
jadi deh masuk teve. Aku pandang dia dari jauh, tapi itu adalah pandangan yang
gemas!
Tapi biar bagaimana pun, itu adalah harinya, di mana dan
kapan pun, setiap aku mengingatnya, aku akan langsung tersenyum.
28
Seandainya semua anggota gengmotor seperti Dilan, atau
minimal Piyan, maka tidak akan ada seperti si Anhar dan si Kusnadi. Anhar itu
anak kelas 3 Sosial. Temannya Dilan, satu komplotan, sama-sama gengster,
sama-sama suka kumpul di warung bi Eem.
Anhar suka petantang petenteng, seolah-olah, baginya, hanya
dirinyalah yang paling jago di dunia dan akhirat. Truoblemaker dan konon
diam-diam, bersama si Engkus, suka malakin anak-anak kelas satu.
Malahan ada info dari Rani, katanya, Anhar itu pernah
ditahan polisi karena melakukan tindakan kriminal di jalan. Memalukan!
Menjijikan! Tidak elegan! Menghancurkan citra korpsnya sendiri. Memanfaatkan
nama kelompoknya hanya untuk kepentingan pribadi dan untuk merasa puas bisa
menekan siapa pun yang dia anggap remeh!
Di sini, aku sedang tidak ingin membela Dilan, seolah aku
sedang berusaha menyampaikan bahwa Dilan itu orang suci. Tidak sama sekali. Aku
juga tahu Dilan suka berantem. Aku juga tahu bahwa Dilan pernah diskors,
sebelum aku pindah ke Bandung, karena terlibat tawuran.
Kau boleh bilang bermilyar-milyar kali bahwa Dilan itu anak
nakal, genster brengsek, atau yang lebih buruk dari itu. Itu hakmu. Tapi
bagiku, Dilan berbeda dengan Anhar dan Engkus. Ini aku bilang dengan melepas
perasaanku kepadanya, biar sedikit bisa objektif.
Sebetulnya, ingin juga kujelaskan, kepada siapa pun, di
sini, bahwa jika Dilan berantem, sesungguhnya itu lebih disebabkan oleh karena
ia ingin membela harga dirinya, dan kehormatannya. Tapi kayaknya percuma, sebab
aku yakin kamu tidak akan percaya.
Sebelum aku datang, kata Wati, Dilan pernah berantem dengan
anak kelas 3. Gara-garanya disebabkan oleh karena orang itu bilang ke Dilan,
waktu Dilan melewati mereka yang sedang nongkrong, (kelak di kemudian hari,
Dilan menjelaskannya kepadaku dengan detail):
”Tong mentang-mentang Anak Kolong lah! Biasa weh! Teu
sieun!”. Bahasa sunda, kira-kira artinya:”Jangan mentang-mentang Anak Kolong
lah! Biasa aja! Gak takut!”. (Anak Kolong adalah sebutan untuk mereka yang
ayahnya tentara)
“Kenapa kamu ngomong gitu?”, Dilan menghampiri orang itu.
“Naon ieu teh?”, si orang itu balik nanya (”Apa sih
ini?”)
“Kenapa kamu ngomong gitu?”.
“Ngomong naon?”. Si orang itu masih juga balik nanya
(“Ngomong apa? Enggak”)
“Kenapa kamu ngomong gitu?”, Dilan masih dengan
pertanyaan yang sama
“Naon, Anjing!”. (“Apa, Anjing!?”) Si orang itu akhirnya
berdiri dan mulai merangsek.
Dilan kemudian menghajarnya, dan terjadilah baku hantam.
Konon, diawali dengan adanya kejadian itu, Dilan pernah di rawat di rumah sakit
Boromeus, katanya di ruang Yosep, kamar 1520, dan koma selama 1 hari, akibat
terkena tusukan di perutnya.
Itu terjadi di daerah jalan Merdeka, sekarang Bandung
Indah Plaza (BIP). Aku
pernah melihat bekas jahitan di perutnya. Dicurigai sebagai balasan yang harus
Dilan terima. Tapi entahlah. Kasus ini tidak pernah diusut sampai tuntas.
Pelakunya tidak pernah terungkap!!!
29
Aku yakin, kepada Anhar, Dilan tidak pernah
membicarakan soal dirinya menyukaiku. Karena kalau Anhar tahu, dia pasti tidak
akan berani menggodaku. Sekali waktu, dia pernah nelepon ke rumahku, entah
dapat nomor dari mana.
“Aku suka merhatiin kamu lho?”
“Oh ya? Kenapa?”
“Kamu cantik lah”
“Kamu temenan sama Dilan?”, aku nanya.
“Iya. Kenapa gitu?”
“Salam buat dia!”
“Pengen ya ke Dilan?”
“Menurutmu?”
“Suka ya?”
“Tanya aja dia”
“Nanti deh aku tanyain”
“Tanyalah”
“Eh Milea, boleh ga, aku pinjem jaketmu? Biar kalau
kupake jadi kerasa dipeluk kamu”
“Norak tahu!”
“Tapi kamu suka kan?”
“Alhamdulilah enggak”
Obrolan yang sangat membosankan! Cowok macam apa pengen make
jaket cewek! Katanya gengster, tapi obsesinya malah pengen jadi waria.
30
Siswa yang terpilih untuk mewakili sekolahku menjadi peserta
cerdas cermat di TVRI adalah Gatot, Haikal dan Ayu. Tapi siswa lain juga boleh
ikut untuk menjadi suporter. Syaratnya harus bayar ongkos untuk biaya menyewa
bis ke Jakarta.
Aku ikut dan senang karena bisa datang ke Jakarta,
setidaknya dengan itu bisa sekalian dimanfaatkan untuk aku bernostalgia. Tapi
aku kecewa, karena Dilan tidak ikut!
Karena tahu Dilan gak ikut (Aku dapat info dari Piyan),
malamnya kutelepon Beni. Sebetulnya, aku tidak sama sekali berharap ketemu
Beni. Aku cuma takut, kalau kemudian Beni tahu bahwa aku ke Jakarta dan tidak
bilang, pasti dia akan marah.
Di telepon, Beni bilang dia senang. Dia memastikan akan datang ke
stasiun televisi tempat di mana kami akan melangsungkan pertarungan. Tapi pas
selesai acara (Tim kami kalah), Beni belum kunjung datang juga. Sampai-sampai
aku mengira, mungkin Beni ada acara, sehingga dia tidak bisa datang.
Sudah dicoba kutelepon ke rumahnya, dengan menggunakan
telepon umum, tapi yang nerima ibunya, katanya dia di rumah pamannya.
Setelah usai acara, sebelum pulang ke Bandung, rencananya
kami akan mampir dulu ke Monas. Jalan-jalan. Tapi sebelumnya, siswa disarankan
untuk mencari makan dulu, yaitu di sekitar kawasan kantor stasiun televisi.
Jangan jauh-jauh.
Nandan ngajak aku makan, awalnya aku gak mau, tapi karena
Novi ikut juga, aku jadi mau. Pas lagi makan, Novi izin, bilang mau
ke toilet. Dia pergi, meninggalkan aku berdua dengan Nandan. Pada saat itulah
Beni datang.
Dia berdua dengan Saribin, kawan sekelasnya, kawanku
juga. Dia langsung duduk di depanku, karena aku duduk bersampingan dengan
Nandan.
“Tahu dari mana aku di sini?”, kutanya Beni
“Temenmu ngasih tau. Emang kenapa kalau tahu?”, Beni
balik nanya
“Ga apa-apa. Nanya aja. Kirain ga akan datang”, jawabku.
“Suka kalau gue ga datang?”, Beni nanya dengan tatapan
yang bisa dianggap mengerikan
Aku diam. Percumalah kujawab. Matanya sudah
nyala oleh api cemburu. Dia pasti marah! Aku tahu siapa dia. Harusnya hal
sepele macem ini gak usah terjadi, seandainya dia bukan orang cemburuan.
Dengan perasaan gak karuan, aku kenalkan Nandan kepadanya.
Beni menyikapinya dengan mata kebencian. Dia memandang kami menggunakan wajah
permusuhan. Aku jadi gak enak ke Nandan.
Beni nanya:
“Cuma berdua?”
“Banyakan. Tadi, disuruh…”, sebelum jawabanku selesai,
Beni memotong:
“Disuruh apa? Disuruh berpasang-pasangan?”
“Beni! Apa sih?!”, kataku sedikit teriak karena kesal
“Terus elu, siapa, lagi?!”. Beni menunjukkan jarinya
hampir deket ke wajah Nandan. Nandan kulihat dia nampaknya ketakutan. Aku
langsung merasa kasihan ke dia.
“Beni!”, aku berdiri.
Beni berdiri juga seraya membentakku: “Diam kamu!”. Terus
dia memandang ke Nandan sambil bicara dengan nada menantang:
“Lu pacarnya!?”
“Bukan, Mas”, Nandan menjawab gemetar
“Terus ngapain lu berdua?!”, Beni membentak Nandan.
Saribin berusaha melerainya.
“Teman aja, mas. Makan”, kata Nandan
Tiba-tiba Beni nyoba nampar Nandan. Nandan mengelak, justeru
malah membuat Beni makin jadi emosi. Dia merangsek dan lalu berusaha memukul
Nandan. Saribin berusaha mencegahnya. Aku teriak untuk bisa menghentikannya.
Saribin berusaha kuat bisa memegang Beni yang terus
memaki Nandan. Di saat bersamaan Novi datang dan langsung merasa bingung dengan
apa yang terjadi:
“Pergi, lu!”, Beni membentak Nandan.
Nandan pergi bersama Novi yang masih kebingungan. Aku
juga ikut pergi, sambil bilang ke Beni:
“Kita putus!”
“Dasar pelacur!” Beni memakiku.
Itu kata yang bisa kudengar dari banyak kata-kata buruk
lainnya yang Beni ucapkan. Setelah selesai bayar makan, aku jalan bergegas
sambil nangis dan langsung masuk ke bis yang sudah dipenuhi oleh kawan-kawanku.
Dalam hati yang kacau, aku mendengar Nandan sedang
menjelaskan duduk persoalannya kepada semua orang yang ada bersamanya.
Sebetulnya aku berharap dia tidak cerita. Tapi sudahlah.
Aku nangis di bis ditemani Sarah, ibu Sri, Wati dan Rani.
Mereka
berusaha untuk membuatku tenang. Wati di sampingku, dia nanya ada apa?
Tangisanku sedikit menjadi ketika memeluknya. Memeluk Wati, bagiku, saat itu,
rasanya seperti sedang memeluk Dilan. Serius. Mungkin karena aku berpikir bahwa
pada tubuh Wati ada darah daging yang sama dengan Dilan. Kau tahu lah: Wati
adalah saudaranya.
“Kenapa?”, Wati nanya sedikit berbisik dan mengelus
punggungku
“Watiii…”,
“Iya, kenapa?”
“Dilan….”
“Dilan?”
“Kenapa Dilan gak ikut…………?”
Aku nangis dengan perasaan tak karuan, sambil terus meluk
Wati. Wati pasti bingung kenapa kasus ini bisa bersangkut paut dengan Dilan?
Makian Beni sangat menyakitkan hatiku. Tak kusangka dia akan
bilang begitu. Tak kuduga bahwa hari ini akan ada. Sambil kuseka air mataku,
terkenang kalimat Dilan di telepon, beberapa waktu yang lalu:
“Jangan pernah
bilang ke aku ada yang menyakitimu, Milea”
“He he he.
Kenapa?”
“Nanti,
besoknya, orang itu akan hilang!
“…..”
BERSAMBUNG
(beli bukunya saja ya, aku juga kemarin di ceritakan sama
temanku cuma setengah-setengan)