Dia Adalah Dilanku
Tahun 1991
Seri Kedua
1
Waktu
itu, jalan Buah Batu rasanya bukan lagi milik Pemkot, melainkan milik aku dan
Dilan, yang sedang berdua di atas motor.
Sebagai
keindahan yang nyata bahwa Dinas Bina Marga Bandung telah sengaja membuat jalan
itu, khusus untuk kami merayakan hari resmi mulai berpacaran.
Entah
bagaimana dengan Dilan, tapi perasaanku saat itu, terasa lebih deras dari hujan
dan seperti melambung lebih ringan dari udara.
Entah
bagaimana dengan Dilan, tapi di hatiku adalah dia, dengan perasaan hangat yang
kupunya. Di kepalaku adalah dia, dengan semua sensasiku dan alam imajinasiku
yang melayang.
Kupeluk
Dilan sambil mengenang saat pertama kali aku mulai mengenalnya. Teringat
kembali tentang semua hal yang sudah dia lakukan selama ini kepadaku. Di
antaranya, ada juga yang menjengkelkan, tetapi tetap bisa membuat aku
tersenyum.
Sikapnya
kepadaku selama ini, agak susah kujelaskan. Dan, selalu sulit bagiku untuk
tidak menyukai apa yang sudah ia lakukan. Secara khusus akan bisa membuat aku
tertawa, atau minimal membuat aku tersenyum, sisanya membuat aku terjebak pada
suatu keadaan yang lebih dari cuma rasa senang.
Ini
skenario yang paling menakjubkan dalam hidupku. Bagaimana kemudian dia bisa
mengubah pikiranku. Bagaimana kemudian dia bisa mendekor ulang, dan mengubah
warna hidupku. Aku tidak mau lagi berpikir mengapa kemudian aku memiliki rasa
suka kepadanya. Hidup, memang, tak terduga.
Jika
aku berkata bahwa aku mencintainya, maka itu adalah sebuah pernyataan yang
sudah cukup lengkap.
2
Itulah
harinya, hari yang kuingat, sebagai hari yang menyenangkan bagiku, berdua di
atas motor dalam guyuran hujan akhir Desember, pada tahun 1990, di Bandung.
Berasa
sangat dingin, tetapi pada kenyataannya, menyenangkan! Berdua dengan Dilan,
bersama cinta yang dapat dirasakan tanpa perlu banyak penjelasan!
Kami
tertawa terbahak-bahak dan terlibat ke dalam berbagai perbincangan. Ketika
Dilan bertanya apa cita-citaku, kujawab aja seenaknya, bahwa aku ingin jadi
Pilot, aslinya sih enggak.
“Kalau
kamu?” kutanya balik. Aku juga ingin tahu apa cita-citanya.
“Aku?”
“Iya…”
“Aku
ingin menikah denganmu!”
Dilan
menjawabnya dengan cepat.
“Ha
ha ha ha!!!”
Gampang
sekali rasanya ketika dia harus mengatakan hal itu. Terdengar jadi begitu
sederhana.
“Kau
mau?”, Dia nanya.
“Mauuuuu!!!!”.
Suaraku mampu menembus deru hujan.
“Ha
ha ha ha!!”
Hari
itu, aku merasa seperti orang yang siap untuk membiarkan dirinya, membawa aku
pergi, ke tempat terjauh manapun yang ada di dunia. Tapi yang ia lakukan malah
membawa aku pulang, ke jalan Banteng. Aku gak punya pilihan, meski masih ingin
bersamanya.
“Nanti
kau sakit” katanya, “Pulang aja”
“Iya….”
kataku. Cukup dengan suara pelan, dia pasti bisa mendengar, karena pipi kananku
merebah di punggungnya.
Kukira
itu adalah hal romantis yang pernah aku berikan ke Dilan agar aku juga bisa
sama merasakannya.
“Liaaa!
Liaaaa! Mileaaa!”
Mendengar
Dilan meneriakkan namaku, serta merta kuangkat kepalaku.
“Apa?”,
tanyaku bingung.
“Pak,
mau Milea gak?”, tanya Dilan kepada orang yang sedang berteduh di emper toko
itu. Suaranya sedikit agak keras dan dengan laju motor yang sengaja dibikin
lambat. Orang itu, pedagang kue, agak jauh dari kami, hanya bisa melongo.
“Heh?!!!!”
Seruku ke Dilan, sesaat setelah aku memberi senyuman gak jelas ke orang itu
sebagai memohon maklum.
Dan
yang kemudian kulakukan adalah mengacak-acak rambut Dilan. “Emangnya aku
kue!!??”
“Ha
ha ha”
Setelah
mengantar aku pulang, hujan belum sepenuhnya reda. Aku langsung ingin segera
bertemu lagi dengan Dilan, sedetik sehabis dia pamit!
Ah,
Dilan, setelah semua ini, bisakah aku bertahan jika jauh darimu?
3
Masih
ingat peristiwa Dilan berantem dengan Anhar? Ya, malamnya, aku benar-benar
merisaukan hal itu.
Otoritas
sekolah pasti sudah tidak bisa nerima lagi. Mereka sudah punya alasan yang cukup
kuat untuk segera memecatnya, karena terjadi pada masa di mana Dilan masih
dalam status mendapat hukuman percobaan.
Kukira
tidak ada satu pun yang mengharapkan semua ini terjadi. Sehingga aku merasa tak
perlu lagi nuduh-nuduh siapa yang jadi biang kerok atas adanya kejadian itu.
Begitu
dramatis! Dan sekaligus juga ironis, di saat dia sudah resmi menjadi pacarku,
malah justeru harus pergi!
Ah,
jika benar terjadi, aku merasa belum siap!
Aku
tidak bisa berbuat banyak. Perasaanku diliputi oleh rasa takut dan putus asa .
Tidak tahu apa yang harus kulakukan, dan merasa kewalahan oleh
ketidakberdayaanku sendiri.
Kucoba
juga melihat ke jauh dalam diriku, untuk bertanya siapa aku, dan apa yang aku inginkan.
Ya,
aku adalah Milea, Milea Adnan Hussain, yang sudah resmi menjadi pacar Dilan
dengan kekuatan bukti secarik surat bermaterai! Dan menginginkan yang terbaik
buat Dilan, untuk kehidupan dan masa depannya!
Sehingga
keputusan sekolah yang akan memecat Dilan, pastinya langsung memberi efek
mendalam dan begitu sangat kupikirkan! Dengan kata lain, malam itu, aku merasa
gelisah!
Kira-kira
pukul delapan, aku telepon Dilan, entah untuk apa, tetapi itu yang kulakukan.
Bi Diah yang ngangkat.
“Ada
Dilan, Bi?”
“Dilan?”
“Iya”
“Ada”,
katanya, “Maaf, dari siapa ya?’
“Lia,
Bi “, jawabku. “Milea”
“Oh,
Teh. Bentar ya”
Selagi
nunggu Dilan, kupejamkan mataku untuk membiarkan pikiranku mengalir.
“Hey!”
“Hey!”,
kusambut.
“Ini
Lia mana ya?”
“Belum
tidur?”
“Lia
mana dulu, ini?”
“Aku!
Heh?! Milea!”
“Apaan
suara doang? Gak ada orangnya?”, tanya Dilan seperti kepada dirinya sendiri.
“Bohong yaaa?”
“Dilan,
please!”
“Bentar.
Jangan serius. Biar Neil Armstrong aja yang serius mah”
“He
he he”
“Gak
kelihatan juga, aku pasti bisa nebak deh”
“Nebak
apa?”
“Kamu,
orangnya pasti cantik ya?”
“He
he he “
“Matanya
bagus ya?”
“He
he he. Terus?”
“Pake
kaos merah kaan?”
“Salah!”
“Hah?”
“Salah!”
“Kok
dijadwalnya, hari ini pake kaos merah?”
“Ha
ha ha”
“Salah
nih yang bikin jadwal!”
“Ha
ha ha ha”
“Gimana
ya? Atau kamu ganti kaos dulu deh”
“Gak
mau!”
“Ha
ha ha”
Aku
tidak tahu, entah mengapa, sesaat itu, isi pikiranku langsung berubah. Menjadi
tidak ada lagi hal penting, selain hal yang gak jelas dari apa yang ia katakan.
Semuanya
buyar! Tapi kukira perlu, untuk menyegarkan pikiran.
4
Hari
sabtu, pagi-pagi, orang di rumah, pada sibuk dengan perbuatannya masing-masing.
Ibu
sedang meracik roti tawar pake mentega dan susu. Aku sudah berseragam sekolah,
dan duduk di kursi makan, untuk mengenakan kaos kaki.
“Ayah
pulang hari ini, Bu?”
“Bilangnya
gitu”, jawab Ibu. “Airin! Cepetan mandinya!”. Ibu teriak.
“Aku
pergi sama Dilan”, kataku pelan.
“Tadi
dia nelepon”
“Oh.
Apa katanya?”
“Iya,
bilang mau jemput”
“Iya”
“Katanya
masih nyiapin sound dulu”
“Hah?”,
aku kaget. “Sound buat apa?”
“Buat
ibu-ibu senam katanya”
“Ha
ha ha”
“Itu
beneran?”
“Ha
ha ha”
Tak
lama terdengar suara motor. Itu jelas Dilan. Kupakai sepatu. Kucium tangan ibu:
“Sarapan
aja dulu!”
“Takut
telat”
Kubersihkan
tanganku dengan lap yang ada di atas meja, lalu berjalan keluar seraya membawa
setangkup roti berisi susu coklat.
“Bawa
buat Dilan”, kata Ibu menyuruh aku bawa roti untuk Dilan.
“Ini
juga cukup,” jawabku. “Assalamualaikum!”
“Alaikumsalam”,
jawab ibu. “Hati-hati”
“Iya”
Dilan
sudah sedang berdiri di teras rumah ketika aku membuka pintu. Dia memakai baju seragam
yang dibalut oleh jaket jeansnya. Gak tahu mengapa, padahal dia tidak sekolah,
karena masih diskorsing.
“Hey!”,
kusapa Dilan.
“Mana,
Ibu?”
“Di
dalam”
Dilan
bergerak, untuk melongok ke dalam rumah
“Bu,
berangkat dulu!”, Dilan teriak.
“Iya!
Hati-hati”, jawab ibu.
Aku
sudah berdiri di sampingnya “Mau?”. Kutawari Dilan roti, sesaat sebelum
berjalan pergi menuju motor.
“Apa
itu?”, tanya Dilan
“Roti”,
jawabku. “Aa!!” Kuminta Dilan mangap. Saat mulutnya kebuka, langsung kusuapkan
rotinya.
“Gengster
kok disuapin!” kataku sesaat setelah berada di atas motor.
“Ha
ha ha” Dilan ketawa dengan roti yang masih sedang dikunyah.
“Ngurus
ibu-ibu senam juga. Baik sekali”
“Ha
ha ha”
Motor
sudah meninggalkan halaman rumahku, ketika Dilan masih ketawa.
“Gengster
teladan…..”
“Sibuk
rindu kamu juga”, kata Dilan
“He
he he”
“Mencintai
kamu juga”
“Makasih
he he he”
“Sibuk
sekali aku ini ya?”
“Iya,
ya!”
“Ha
ha ha”
Saat
itu, sebenarnya aku ingin membahas soal serius, yaitu soal kemungkinan Dilan
akan dipecat oleh sekolah. Tapi aku tidak ingin merusak suasana, dan sepertinya
dia juga tidak ingin membicarakan soal itu.
Kira-kira
sebelum sampai di perempatan jalan Peta, kutanya Dilan, karena mendadak laju
motornya melambat:
“Kenapa?”
“Rotinya
habis”
“Gak
ngerti!”
“Rotinya
habis…”. Dilan menunjuk mulutnya
“Oh!
Ha ha ha”, aku ketawa. “Nih!”. Kusodorkan roti ke mulutnya dan langsung dia
makan.
Setelah
itu motor maju lagi dengan kecepatan yang normal sampai mau masuk ke arah jalan
sekolah.
“Kamu
mau kemana?”, tanyaku, mengingat dia masih belum diperbolehkan untuk masuk
sekolah.
“Sekolahku
di warung Bi Eem. Di sana banyak tahu”
“Tahu
Sumedang”
“He
he he”
Ketika
motor berhenti di depan gerbang sekolah, aku langsung turun, dan memberikan
uang seribu ke Dilan yang masih duduk di motornya. Itu adalah uang yang sudah
aku siapkan sebelum sampai.
“Apa
ini?”, tanya Dilan bingung, sambil meraih uang itu.
“Ongkosnya,
Maaaaaang!!!” , kataku sambil senyum dan berjalan pergi meninggalkan Dilan yang
ketawa karena sudah kuperlakukan sebagai tukang ojek.
Aku
hampir yakin tak ada orang yang punya otoritas untuk melakukan hal itu
kepadanya selain aku.
“Lumayan!”,
katanya sambil pergi untuk ke warung Bi Eem.
“Ha
ha ha”
5
Di
kelas, sebelum pelajaran dimulai, aku ngobrol sebentar dengan Rani dan Wati,
soal kejadian Dilan berantem dengan Anhar dan resiko yang akan didapat oleh
Dilan berupa pemecatan. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku cuma bisa
bingung!
Setelah
bel istirahat, aku bergegas untuk langsung pergi ke warung Bi Eem, tapi Nandan
ngajak ngobrol menyangkut rencana membuat kaos kelas. Tak lama kemudian datang
Piyan, berdiri di pintu kelas dengan sikap seperti orang yang ingin segera
pergi lagi:
“Lia!”,
katanya, “Dilan!”
“Kenapa?”
“Berantem!”
“Hah?!!”
Aku
terkejut. Aku tidak bisa menahan diri, kutinggalkan Nandan, dan segera lari ke
warung Bi Eem mengikuti Piyan yang juga lari. Kalau kamu punya situasi yang
sama denganku, pasti kamu juga akan panik.
Sesampainya
di sana, aku melihat sudah ada sekitar 4 orang di warung Bi Eem, termasuk Akew,
yang sedang berusaha mengobati luka pada wajah Dilan. Aku duduk mencoba untuk
mendapatkan lebih dekat dengannya. Tanganku gemetar membersihkan sisa darah di
mukanya.
“Berantem
sama siapa?” Tanyaku pada orang-orang yang ada di situ.
“Gak
tau siapa”, jawab Akew
Aku
belum pernah melihat Dilan dengan mata kananya yang lebam, dan luka kecil di
beberapa bagian. Pakaiannya penuh darah.
Itu
benar-benar mengerikan dan aku nyaris merasa bahwa tak pernah ada hal buruk
dari itu. Walaupun tidak terlalu parah, tetapi itu luka dan aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan selain bingung atas dasar apa mereka mengeroyoknya. Itu
adalah hal yang besar bagiku dan menakutkan meski Dilan bersikap sebagai hal
biasa baginya.
“Sama
siapa?”, kutanya Dilan
“Agent
CIA”, jawab Dilan.
“Aku
serius!”, kataku nyaris seperti membentak. Aku benar-benar ingin tahu siapa
yang sudah ngeroyok Dilan, seolah-olah saat itu aku ingin segera membunuh
pelakunya.
“Bi
Eem, berantem sama siapa?”, kutanya Bi Eem yang keluar dari dalam rumahnya.
Kemudian
Bi Eem menjelaskan, katanya: Dilan sedang sendiri saat itu, tiba-tiba datang
empat orang, memasuki halaman dengan menggunakan dua motor, kemudian mereka
menyerangnya. Bi Eem ingin menolong, tapi yang bisa ia lakukan hanya sembunyi
di balik meja dagangan.
“Siapa?”,
kutanya Dilan
“Udah
kubilang agent CIA”, jawab Dilan.
“Bi
Eem kenal?”, kutanya Bi Eem.
“Gak
kenal, jawabnya. “Gak pernah lihat”
“Kamu
kenal?”, kutanya Dilan
“Enggak”,
jawab Dilan sambil merogoh saku bajunya, mengeluarkan uang seribu: “Ini,
uangmu,” katanya, sambil berusaha untuk senyum. “Gak usah bayar”, katanya lagi.
Maksudnya dia mau mengembalikan ongkos ojek yang tadi pagi kuberikan kepadanya.
Aku
tidak percaya dia masih sempat melakukannya.
Aku hanya menggelengkan kepala. Aku betul-betul masih bingung dan sangat
emosionil saat itu. Kutepis tangannya untuk meyakinkan dia bahwa bukan saatnya
untuk bercanda.
“Udah
selesai?”, Dilan tanya, untuk ingin tahu apakah aku sudah selesai sekolahnya
atau belum? “Kalau udah selesai, hayu
pulang”, katanya lagi, sambil berdiri.
Entah
bagaimana aku berhasil mengangguk. Aku akan izin untuk pulang. Harus, agar bisa
sekalian bawa Dilan ke rumah sakit.
BERSAMBUNG
YA

Tidak ada komentar:
Posting Komentar